Ulil Abshar-Abdalla
Salam,
Melihat perkembangan di Indonesia saat ini, ada perasaan frustasi
yang menyayat-nyayat dalam diri saya. Apakah Indonesia masih bisa
ditolong?
Berita yang selalu menyayat saya adalah perkembangan kebebasan agama
di tanah air yang sedang memasuki situasi “kalabendu” atau kegelapan.
Demi menjaga kesucian akidah (=Islam), nyawa ribuan anggota jamaah
Ahmadiyah berada dalam ancaman.
Bahwa pemerintah saat ini tidak berani mengambil sikap tegas untuk
menolak desakan pembubaran Ahmadiyah, buat saya, adalah memalukan.
Saya ingin mengatakan: SHAME ON YOU, SUSILO BAMBANG YUDHOYONO!
Hari ini, saya membaca berita, pemerintah menunda penerbitan SKB yang
direkomendasikan oleh Bakor Pakem untuk membubarkan Ahmadiyah. Buat
saya, pemerintah tak perlu waktu lama untuk mengambil keputusan yang
sudah jelas dan terang-benderang ini, yakni melindungi setiap
penduduk untuk menjalankan keyakinan mereka tanpa pandang bulu.
Itulah aturan main yang ditetapkan dalam konstitusi. Kalau kelompok
yang dianggap sesat oleh golongan mayoritas bisa diberangus, lalu apa
beda negeri ini dengan sebuah teokrasi, negara agama, negara MUI,
negara kaum Sunni yang bisa memaksakan sebuah fatwa menjadi ketentuan
hukum yang mengikat?
Bahwa pemerintah Susilo terombang-ambing mengambil keputusan yang
tegas dalam soal yang sudah jelas dan “cetha wela-wela” ketentuannya
ini, adalah memalukan sekali. SHAME ON YOU SUSILO! SHAME!
Saya mengirim sebuah kolom ke Harian Kompas beberapa waktu lalu,
tetapi hingga sekarang tak (atau belum?) dimuat. Saya tak tahu,
kenapa. Saya mengatakan dalam kolom itu, bahwa Presiden Susilo (saya
tak suka memakai singkatan SBY; kebiasaan singkat-menyingkat atau
membuat akronim ini sebaiknya dihindari) perlu belajar dari kasus
segregasi rasial di Arkansas, AS, dan ketegasan Presiden Dwight
Eisenhower pada waktu itu.
Alkisah, pada bulan September 1957, gubernur negara Arkansas, Orval
Faubus, melarang sembilan murid hitam untuk masuk sekolah kembali di
Central High School di kota Little Rock, Arkansas. Ini adalah bagian
dari warisan diskriminasi rasial yang masih bertahan kuat di kawasan
selatan Amerika hingga saat itu. Kebijakan Gubernur Faubus ini
menimbulkan protes luas di luar negara bagian Arkansas dan menjadi
liputan media massa selama berhari-hari.
Setelah beberapa minggu, akhirnya Presiden Dwight Eisenhower turun
tangan. Dia memerintahkan Gubernur Faubus untuk mencabut
keputusannnya itu. Bukan hanya itu. Presiden Eisenhower mengirimkan
pasukan dari Divisi Airborne 101 ke Little Rock pada tengah malam
tanggal 23 September. Keesokan harinya, 24 September, sembilan murid
hitam yang menjadi korban rasisme itu dikawal oleh pasukan federal ke
sekolah. Pasukan itu mengawal mereka sepanjang perjalanan dalam bus
hingga masuk ke kelas. Membaca kisah ini pertama kali, saya begitu
terharu.
Diskrimnasi tak dibenarkan oleh konstitusi Amerika, dan untuk itu
Presiden Eisenhower dengan tegas sekali membatalkan kebijakan rasis
Gubernur Faubus, mengirim pasukan secara langsung untuk memastikan
bahwa hak-hal murid hitam tak diganggu oleh kaum kulit putih yang
rasis.
Saya membayangkan, Presiden Susilo bisa meniru (walau sedikit saja)
ketegasan Presiden Einsenhower itu. Saya membayangkan, Presiden
Susilo mengatakan dengan tegas ke rakyat Indonesia bahwa kebebasan
melaksanakan keyakinan tak bisa diganggu oleh siapapun. Pemerintah
tak bisa melakukan negosiasi apapun dalam masalah yang mendasar ini.
Saya membayangkan, Presiden Susilo menyampaikan pidato dengan “daya
pesonanya” yang terkenal itu dan mengatakan dengan kalimat yang
sederhana berikut ini: Wahai bangsaku, keyakinan adalah hak dasar
setiap manusia. Kalian tak bisa memaksakan keyakinan kepada orang
lain. Kalian boleh punya anggapan bahwa suatu keyakinan adalah sesat.
Tetapi kalian tak bisa membubarkan suatu kelompok karena keyakinan
mereka. Tak bisa!
Presiden Susilo, bisakah saya berharap dari anda sedikit ketegasan
dalam hal yang menyangkut hak mendasar dari seluruh manusia ini,
masalah keyakinan?
Presiden Susilo, anda tak butuh waktu lama untuk merenung dan
menentukan keputusan dalam masalah ini. Perkaranya sudah jelas:
manusia tak bisa dipaksa untuk pindah agama, mengubah keyakinan hanya
karena desakan lembaga fatwa atau umat mayoritas.
Kalau anda tunduk pada desakan lembaga fatwa dan umat mayoritas, maka
sekali lagi, SHAME ON YOU!
Presiden Susilo, jika Ahmadiyah benar-benar dilarang di Indonesia,
maka “raison d’etre” atau alasan keberadaannya sbagai negara yang
melindungi seluruh “nasion”, bukan umat agama tertentu, sudah
selesai. Indonesia sudah selesai!
Kalau itu terjadi, SELAMAT DATANG DI NEGERI TEOKRASI! SELAMAT
MENJELANG ZAMAN KALABENDU!
4 comments
Comments feed for this article
May 7, 2008 at 6:55 am
Werene
Waw luar biasa……. artikel anda ini bung…. saya pikir juga juga begitu. kalau memang pemerintah mengesahkan surat keputusan bersama oleh tiga menteri itu berarti kita bubar saja dan buat negara sendiri-sendiri, karena indonesia bukan lagi negara yang melindungi dan menjamin hak-hak minoritas untuk memeluk agama dan kepercayaanya sendiri. Jika surat keputsan tersebut disahkan oleh pemerintah berarti suatu “PENGHIANATAN TERHADAP UUD 45” dan negara tidak punya hukum yang kuat untuk mempertahankanya lagi jadi sekali kita bubar saja dari NKRI>
May 8, 2008 at 10:25 am
Richie Octavian
Memang aneh dan bikin frustasi, dalam dunia modern seperti ini masih
ada kelompok yang didiskriminasi karena iman dan keyakinannya.
Celakanya,
itu terjadi di Indonesia yang sudah sedari dulu menjadi muara
dari ratusan
atau bahkan ribuan agama dan suku bangsa.
Aku masih ingat banyak orang yang pada Pemilu 2004 memilih Susilo BY
sebagai
reaksi ketidaksukaan terhadap Megawati yang dianggap cuma diam tak
mampu
berkomunikasi dengan baik. Ketika itu Susilo BY dianggap gabungan
dari tokoh Gatot
Kaca dan Rama, symbol kekuatan dan kegagahan. Pada tahun-tahun pertama
orang terpesona karena kecanggihan beliau mengkomunikasikan pikiran-
pikirannya
secara sistematik dan dengan bahasa yang jernih. Orang kagum ketika
ahli komunikasi
Susilo BY mampu menebarkan pesona dengan meyakinkan kita betapa
kerasnya Susilo BY
bekerja sehingga matanya sedikit ‘bengkak’ tanda kurang tidur.
Sayangnya, ternyata Susilo BY tidak seperti yang diharapkan. Beliau
berbicara untuk
hal yang ‘remeh-remeh’ atau untuk hal yang lebih menguntungkannya
secara politis. Beliau
diam membisu untuk hal-hal yang sangat penting bahkan ketika itu
menyangkut pelanggaran konstitusi, pelanggaran hak azasi manusia atau
bahkan menyangkut keutuhan bangsa.
Beliau diam ketika rumah ibadah ditutup atau ketika berbagai produk
perundang-undangan bertentangan dengan HAM. BHeliau diam ketika
kelompok Ahmadi dianiaya di berbagai daerah.
Kita jadi disadarkan dan jadi mengerti apa artinya bangsa yang
dipimpin seorang leader tanpa leadership. Atau mungkin lebih tepat
leader tanpa integritas. Integritas, kata Carter, adalah kemampuan
melihat apa yang benar dan melakukan sesuai dengan kebenaran itu.
Kita memiliki pemimpin yang pasti mampu melihat dan pasti tahu apa
yang benar, tetapi lumpuh dan impoten
ketika harus mengaplikasikannya dalam tindakan. Impotensi itulah
yang sedang kita tangisi.
Haruskah kita mengharapkan pemimpin yang lain?
Salam,
June 4, 2008 at 3:04 pm
surplice
Surplice says : I absolutely agree with this !
September 28, 2014 at 10:18 am
anna
Ahmadiyah merusak islam yang sesunggguhnya, ahmadiyah boleh hidup di indonesia asal jangan gunakan label islam.